HADITS PERTAMA
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو
عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين
مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب
المصنفة]
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari
Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa
yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat
dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah
bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang
paling shahih yang pernah dikarang) .
Catatan
:
Hadits ini merupakan salah satu
dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’i
berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya
adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan,
sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam
Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh.
Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
Hadits ini ada sebabnya, yaitu:
ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat
menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk
mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan
“Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Pelajaran
yang terdapat dalam Hadits / الفوائد من الحديث :
Niat merupakan syarat
layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan
mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
Waktu pelaksanaan niat
dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
Ikhlas dan membebaskan niat
semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
Seorang mu’min akan diberi
ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
Semua perbuatan yang bermanfaat
dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia
akan bernilai ibadah.
Yang membedakan antara ibadah
dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan
bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan
iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati,
diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).
Setiap Amal Tergantung Niatnya
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.
Fungsi Niat
Niat memiliki 2 fungsi:
1. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
Niat memiliki 2 fungsi:
1. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1. Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh
fuqoha’.
2. Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:
a. Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.
b. Jika
kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
c. Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.
Beribadah dengan Tujuan Dunia
Pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.
Hijrah
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.
Bentuk-bentuk Hijrah:
1. Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
2. meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
3. Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.
1. Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
2. meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
3. Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.
Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.
Hukum niat
a. Niat
dalam beramal hukumnya wajib
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ
وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴿٥﴾
“Padahal
mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.”
(QS.
Al-Bayyinah: 5)
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا
وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. Akan
tetapi, ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)
قُلْ إِن تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ
يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ
“Katakanlah,
‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu memperlihatkannya,
pasti Allah mengetahui.’…” (QS. Ali Imran: 29)
Pelajaran
dari Hadits di atas adalah:
1. Para ulama sepakat bahwa niat adalah syarat
mutlak agar suatu amal diganjar atau dibalas dengan pahala. Namun, apakah niat
merupakan syarat sahnya suatu amal atau perbuatan, mereka berbeda pendapat.
Ulama Syafi’iyah menyebutkan, “Niat adalah syarat
sahnya suatu amal atau perbuatan yang bersifat ‘pengantar’ seperti wudhu, dan
yang bersifat ‘tujuan’ seperti shalat.”
Ulama Hanafiyah menyebutkan, “Niat hanya syarat sahnya
amal atau perbuatan yang bersifat ‘tujuan’, dan bukan ‘pengantar’.”
2. Niat dilakukan di hati, dan tidak ada
keharusan untuk diucapkan.
3. Ikhlas karena Allah merupakan salah
satu syarat diterimanya amal atau perbuatan.
4. Ikhlas dalam niat syarat
diterimanya amal
Manusia dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat dengan niatnya sewaktu
di dunia. Perhatikan hadits berikut ini:
وَعَنْ أُمِّ
الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو جَيْشٌ
الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنْ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ
وَآخِرِهِمْ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ
وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ قَالَ يُخْسَفُ
بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ متفق عليه هذا
لفظ البخاري
Ummul Mukminin,
Ummu Abdillah, Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Satu pasukan
tentara akan menyerang Ka’bah. Ketika tiba di suatu tanah lapang, mereka semua
dibenamkan (ke tanah).”
Aisyah
bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa mereka dibinasakan semuanya. Padahal, di
antara mereka terdapat kaum awam (yang tidak mengerti persoalan) dan
orang-orang yang bukan golongan mereka (mereka ikut karena dipaksa)?”
Rasulullah
bersabda, “Mereka semua dibinasakan. Kemudian mereka akan dibangkitkan (pada
hari Kiamat) sesuai niat mereka.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Ada beberapa
pelajaran dari hadits di atas, antara lain sebagai berikut:
1.
Perhitungan
kebaikan dan keburukan didasarkan pada niat.
2.
Peringatan
untuk tidak berteman dengan orang-orang yang tidak baik.
3.
Anjuran
untuk berteman dengan orang-orang baik.
4.
Berita dari
Rasulullah tentang perkara-perkara gaib yang harus dipercaya apa adanya. Kita
juga wajib percaya bahwa perkara-perkara itu akan terjadi sebagaimana
diberitakan karena semua yang dikatakan Rasulullah adalah wahyu.
Keutamaan Niat yang Ikhlas
Seorang mukmin mendapatkan pahala
karena niatnya sekalipun tidak mengerjakan niatnya itu karena uzur
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ
اللهِ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي غَزَاةٍ فَقَالَ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا
قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمْ الْمَرَضُ وَ فِي
رِوَايَةٍ إِلَّا شَرِكُوكُمْ فِي الْأَجْرِ
Abu Abdillah, Jabir bin Abdillah Al-Anshari RA berkata, “Kami bersama Nabi
SAW dalam suatu peperangan (Perang Tabuk), lalu beliau bersabda, ‘Di Madinah
ada sejumlah laki-laki, kalian tidak menempuh perjalanan atau melewati lembah,
kecuali mereka bersama kalian. Mereka tertahan (di rumah) karena sakit.’
Di dalam riwayat lain disebutkan, ‘Mereka mendapatkan pahala sebagaimana
kalian.’” (Muslim)
Sedangkan Imam Bukhari meriwayatkannya dari jalur Anas RA, “Saat kami
pulang dari Perang Tabuk bersama Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Ada beberapa kaum
di Madinah, kita tidak melewati lereng gunung atau lembah kecuali mereka selalu
bersama kita. Mereka tertahan oleh uzur (sakit atau usia yang sudah tua).’”
Pelajaran dari Hadits:
Seorang muslim yang benar-benar bertekad ingin berjihad, namun tidak bisa
pergi karena alasan syar’i, maka ia mendapatkan pahala jihad.
Ditetapkannya pahala karena niat
bukan karena amal semata
وَعَنْ أبِي يَزِيْدَ مَعْنِ بْنِ يَزِيْدَ بْنِ الأَخْنَس رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ وَهُوَ وَأبُوْهُ وَجَدُّهُ صَحَابِيُوْنَ قَالَ كَانَ أَبِي يَزِيدُ
أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ
فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ
أَرَدْتُ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ رواه
البخاري
Abu Yazid, Ma’n bin Yazid bin Al-Akhnas RA[3] berkata, “Ayahku
mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Ia meletakkannya di dekat
seorang laki-laki yang berada di masjid. Aku ambil dinar itu, lalu aku bawa
pulang dan kutunjukkan kepada ayah. Ayah berkata, ‘Demi Allah, aku tidak
bermaksud menyedekahkannya kepadamu.’[4] Aku (Ma’n) melaporkan
hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Kamu mendapatkan pahala sesuai
yang kamu niatkan, wahai Yazid. Sedangkan kamu, wahai Ma’n, kamu mendapatkan
yang kamu ambil.’” (Bukhari)
Pelajaran dari Hadits:
- Sedekah boleh diberikan kepada anak atau orang tua, sedangkan zakat, tidak boleh.
- Pemberian sedekah atau zakat boleh diwakilkan.
- Setiap amalan yang diniatkan untuk beribadah baginya pahala
وعن أبي إسحاق سعد بن أبي وقاص مالك بن أهيب بن عبد مناف بن زهرة بن كلاب بن
مرة بن كعب بن لؤى القرشي الزهري رضي الله عنه أحد العشرة المشهود لهم بالجنة رضي
الله عنهم قال جاءني رسول الله صلى الله عليه وسلم يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ
الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنْ
الْوَجَعِ مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لي
أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا فَقُلْتُ بِالشَّطْرِ فَقَالَ لَا
ثُمَّ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ إِنَّكَ إَنْ تَذَرَ
وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ
النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا
أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ
عَمَلًا صَالِحًا إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً ثُمَّ لَعَلَّكَ أَنْ
تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ اللَّهُمَّ
أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ لَكِنْ
الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ متفق عليه
Abu Ishaq, Sa’d bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf RA (satu
dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga) berkata, “Pada tahun Haji Wada’,
Rasulullah mengunjungiku yang sedang sakit parah. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah,
sakitku sangat parah. Aku adalah orang yang kaya, sedangkan ahli warisku hanya
seorang anak perempuanku. Apakah aku boleh menyedekahkan dua per tiga hartaku?’
Rasulullah menjawab, ‘Jangan.’
‘Seperdua?’
‘Jangan.’
‘Sepertiga?’
‘Boleh sepertiga. Sepertiga itu sudah banyak. Lebih baik kamu tinggalkan
ahli waris dalam keadaan kaya daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan
fakir, dan meminta-minta kepada orang lain. Jika kamu menginfakkan hartamu
untuk mencari ridha Allah, kamu akan mendapatkan pahalanya, meskipun itu berupa
makanan yang kamu berikan kepada istrimu.’
‘Ya Rasulullah, apakah aku di tinggalkan setelah teman-temanku.’[5]
Rasulullah menjawab, ‘Jika kamu ditinggalkan di Mekah, lalu kamu mengerjakan
perbuatan (baik) untuk mencari ridha Allah, derajat dan kemuliaanmu akan
ditambah. Semoga engkau tertinggal (di Mekah), sehingga beberapa kaum bisa
mengambil manfaat darimu dan beberapa kaum yang lain dirugikan oleh
keberadaanmu. Ya Allah, lanjutkan hijrah sahabat-sahabatku dan jangan Engkau
kembalikan mereka ke tempat yang mereka tinggalkan. Akan tetapi, orang yang
menderita adalah Sa’d bin Khaulah.’”
Perawi berkata, “Rasulullah SAW memberikan ungkapan belasungkawa kepadanya,
karena ia meninggal dunia di Mekah.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
- Boleh mengeluhkan sakit yang diderita jika ada alasan yang dibenarkan, seperti untuk pengobatan atau minta didoakan oleh orang yang shalih.
- Boleh mengumpulkan harta dari sumber yang halal selama kewajiban harta tersebut ditunaikan.
- Orang yang sakit menjelang mati tidak diperbolehkan menyedekahkan atau mewasiatkan hartanya lebih dari sepertiga, kecuali mendapat izin dari ahli waris.
- Amal seorang muslim akan mendapatkan pahala sesuai niatnya.
- Memberikan nafkah kepada keluarga akan mendapatkan pahala ketika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar